Laporan Bank Dunia, dengan judul Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia, memaparkan bahwa dua pertiga dari pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan berkualitas rendah. Pekerjaan berkualitas rendah menurut Bank Dunia adalah pekerjaan yang pendapatannya sekitar 3,8 juta rupiah per bulannya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia sulit menciptakan pekerjaan berkualitas kelas menengah, diantaranya karena transformasi struktural yang belum memadai. Kedua, struktur perekonomian yang tidak mendukung pekerjaan kelas menengah. Terakhir, mayoritas tenaga kerja tidak memiliki skill yang dibutuhkan pekerjaan kelas menengah.
Jika membandingkan temuan dari Laporan Bank Dunia itu, sepertinya relevan dengan apa yang menjadi permasalahan tenaga kerja dari Kementerian Tenaga Kerja, yakni:
1. Rendahnya Kualitas Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Pendidikan atau pelatihan yang baik akan menghasilkan tenaga kerja yang baik. Idiom ini tentunya benar adanya. Pusat-pusat pendidikan di Indonesia secara kualitas belumlah merata dan secara sebaran juga masih berpusat di kota-kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Bahkan lembaga pendidikan yang termasuk terbaik di Indonesia, ternyata juga masih jauh peringkatnya dibandingkan lembaga pendidikan di tingkat ASEAN, ASIA apalagi pada tingkat dunia.
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan di Indonesia masih terancam.
Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Jumlah Angkatan kerja yang Tidak Sebanding dengan Kesempatan Kerja
Sensus Penduduk (SP) 2020 mengungkapkan sejumlah fakta yang menebar ancaman.
Pertama, selama dekade 2010-2020, laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi, yakni 1,25%. Perlambatan terlalu tipis dibandingkan dekade sebelumnya, 1,49%. Selama dekade 2000-2010, jumlah penduduk bertambah 31,37 juta atau 3,14 juta per tahun, sedangkan selama 2010-2020, jumlah penduduk meningkat 33,72 juta atau 3,37 juta setiap tahun. Dalam jumlah, penduduk Indonesia terus meningkat signifikan.
Kedua, SP 2020 mengungkap lonjakan jumlah penduduk usia produktif, yakni 15-64 tahun, dari 66,09% atau 157 juta tahun 2010 ke 70,7% atau 191,9 juta tahun 2020.
- Generasi Milenial (Usia 24 - 39 tahun) : 70,2 juta atau 25,87%,
- Generasi Z (usia 8 - 23 tahun) : 75 juta
- Generasi Baby Boomer, (Usia 56-74 tahun) : sekitar 11,56% atau 31,37 juta dan
- Generasi Pre-Baby Boomer, (Usia 75 tahun ke atas) : Sebanyak 1,87% atau 5 juta jiwa.
Harusnya Indonesia dapat menikmati bonus demografi karena banyaknya angkatan kerja yang masuk kategori produktif. Namun jika bonus demografi ini tidak diimbangi dengan pendidikan dan ketrampilan yang lebih baik dari negara lainnya, tentunya hal ini bukannya menjadi bonus namun menjadi beban bagi pemerintah karena produktivitasnya rendah.
Meningkatnya angkatan kerja tidak diimbangi oleh banyaknya lapangan kerja yang tersedia, menyebabkan beban tersendiri bagi sistem perekonomian. Angkatan kerja yang tidak tertampung berakhir menjadi pengangguran;
3. Persebaran Kerja yang Tidak Merata
Karena kebanyakan warga Indonesia masih berpikiran “Jawa Sentris” maka pembangunan dan pekerjaan terfokus di Jawa. Hal ini menyebabkan tidak meratanya pembangunan dan belum maksimalnya pengembangan sumberdaya di daerah lain.
Dapat dikatakan, Indonesia terlambat dalam membangun infrastruktur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Serta pembangunan sentra-sentra usaha dan industri juga masih berpusat kepada daerah-daerah yang memang sudah lebih lengkap fasilitasnya. Maka pemerintahan saat ini dan juga dimasa yang akan datang diharapkan lebih mengedepankan pembangunan dan peningkatan industri di luar Jawa. Tentunya hal ini menjadi mungkin jika infrastruktur dan fasilitas pendukungnya lancar dan baik.
Pencanangan berpindahnya ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur seharusnya menjadi suatu itikad yang baik karena dengan sendirinya akan menyebarkan kesempatan lapangan pekerjaan dan pembangunan.
4. Pengangguran
Terjadinya krisis ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan terkadang membuat perusahaan tidak memiliki pilihan selain memutuskan tenaga kerjanya. Ditambah dengan sempitnya lapangan pekerjaan membuat tenaga kerja produktif menganggur dan mengurangi potensi ekonomi.
Pengangguran yang berjumlah banyak tentunya menjadi suatu permasalahan serius bagi setiap pemerintahan di suatu negara. Pengangguran pada usia produktif akan membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat karena akan banyak dampak ikutan yang terjadi dengan banyaknya pengangguran. Sekurang-kurangnya masalah keamanan, persaingan kerja yang tidak sehat ataupun dampak sosial pasti menjadi situasi yang kurang baik bagi proses pembangunan.
Bahkan bagi tenaga kerja yang terampil dan lulusan pendidikan yang baik sekalipun jika tidak mendapatkan kesempatan kerja, maka ketrampilan dan keahliannya perlahan-lahan akan hilang.