Achmad Mochtar menjadi peneliti unggul berdarah Indonesia yang hidup pada masa penjajahan Jepang, rela menjadi kambing hitam kejahatan perang Jepang untuk...
Kisah pengorbanan Achmad Mochtar tertulis dalam buku berjudul "War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine", terbitan University of Nebraska Press. Buku yang ditulis JK Baird dari University Oxford, serta Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu diterbitkan pertengahan tahun ini - Terhitung tujuh puluh tahun setelah wafatnya Achmad Mochtar.
Tragedi Klender
Tahun 1944, sekitar 900 romusha (pekerja paksa pada zaman penjajahan Jepang) di Klender mati setelah menunjukkan adanya gejala tetanus. Beberapa hari sebelum kematian, mereka diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri). Berdasarkan beberapa narasumber, pada saat itu Staf Lembaga Eijkman memang menyuntikkan cairan yang dibilang vaksin namun atas perintah Jepang.
Polisi Jepang atau Kenpetai menyatakan bahwa Mochtar, yang kala itu menjadi direktur Lembaga Eijkman beserta satfnya, bersalah dan bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Jepang menuduh Mochtar dan stafnya sengaja mengganti vaksin dengan kuman tetanus supaya para romusha mati. Jepang kemudian menangkap Mochtar dan stafnya. Mereka mengalami berbagai penyiksaan, seperti dibakar dan disetrum yang menyebabkan salah satu staf dokter tewas.
Staf Lembaga Eijkman lain kemudian bebas namun hidup Mochtar berakhir tragis dengan hukuman pancung pada 3 Juli 1945. Bahkan disebutkan, setelah dipancung, tubuhnya digilas dengan traktor sebelum akhirnya dikubur.
Sangkot mengungkapkan, "Cerita tentang Achmad Mochtar tidak ada di buku sejarah umum tetapi selalu tercatat dalam sejarah kedokteran. Sejak awal, keterlibatan Achmad Mochtar dalam kematian 900 romusha diragukan. Masa dokter tega membunuh bangsa sendiri?"
Kejahatan Terungkap
Tahun 2010, makam Mochtar berhasil ditemukan. Ia dikubur di Evereld, Ancol. Jurnal Science pada tahun 2010 memuat penemuan dan dugaan pembunuhan Mochtar. Sangkot dan rekan penelitinya lalu membaca ulang memoar sejumlah saksi mata yang telah dibukukan. Selain itu, mereka juga mewawancara keluarga dan keturunan Mochtar. Analisis mengungkap, Mochtar sengaja di-kambinghitam-kan untuk menutupi kejahatan perang yang dilakukan Jepang.
Situasi pada tahun 1944 hingga 1945 memang sangat genting. Saat itu, kekuasaan Jepang di Indonesia sudah menunggu waktu. Tentara sekutu sudah sampai di Indonesia bagian Timur. Jepang harus bersiap menghadapi perang melawan sekutu sekaligus rakyat Indonesia yang ingin merdeka. Dalam situasi seperti itu, Jepang panik. Mereka membutuhkan vaksin tetanus.
"Saat itu tetanus mematikan. Perang bukan hanya dengan tembakan tetapi juga tusukan. Jumlah orang yang mati karena tetanus akibat luka tusukan juga cukup banyak," jelas Sangkot saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/11/2015). Jepang diduga melakukan eksperimen vaksin tetanus. Tim Jepang yang melakukan eksperimen saat itu masih misterius. Namun ditemukan jejak eksperimen ilmiah oleh militer Jepang Unit 731 di Bandung - Yang mana pada saat itu, Pasteur Institute di Bandung adalah lembaga yang melakukan riset vaksin TCD. Analisis mengungkap, para romusha sengaja disuntik dengan toksin tetanus agar keampuhan vaksin tetanus bisa diketahui. Eksperimen itu mestinya dilakukan pada hewan terlebih dahulu tapi Jepang langsung melakukannya pada romusha.
"Itu sengaja dilakukan tapi gagal. Tidak mungkin hanya kecelakaan," kata Sangkot. "Jepang merupakan bangsa yang superior. Kalau sampai eksperimen mereka gagal, mereka akan dituduh melakukan kejahatan perang. Karena itu mereka butuh kambing hitam," jelas Sangkot. Jadilah kemudian Achmad Mochtar yang menjadi kambing hitam dalam peristiwa kegagalan eksperimen itu. Saat itu di Indonesia hanya ada dua lembaga penelitian, Pasteur Institute di Bandung dan Lembaga Eijkman di Jakarta. Direktur Pasteur Institute adalah orang Jepang.
"Sementara direktur Eijkman adalah orang Indonesia, bisa dikambinghitamkan," urai Sangkot. Sebagai orang Indonesia, posisi Mochtar sebagai direktur lembaga penelitian juga sangat strategis. Dia dinilai terlalu banyak mengetahui rencana-rencana penjajah Jepang dan agar kejahatan perang Jepang tidak terbongkar, Mochtar perlu "dibungkam" dengan cara eksekusi.
Jiwa Pahlawan
Mengapa kemudian hanya Achmad Mochtar yang dipancung?
Sangkot menuturkan, sebelum eksekusi Mochtar menandatangani perjanjian dengan Kenpetai. Dalam perjanjian itu, Mochtar bersedia dinyatakan bersalah atas kematian 900 romusha asalkan stafnya bisa dibebaskan. Penerbitan buku tentang Mochtar dalam bahasa Inggris bermaksud untuk mengungkapkan kepada dunia tentang adanya dokter yang dikriminalisasi untuk menutupi kejahatan perang. Sampai kini, Jepang tidak pernah minta maaf atas tindakannya eksekusi pancung terhadap Mochtar.
Di Indonesia sendiri, Achmad Mochtar memang belum banyak mendapat penghargaan yang cukup, meskipun ia pernah dianugerahi Bintang Jasa Utama pada masa Presiden Soeharto. Penghargaan itu ditujukan untuk orang yang berjasa pada kalangan terbatas saja.
Sangkot mengungkapkan bahwa Achmad Mochtar layak menjadi pahlawan nasional mengingat pengorbanan dan perjuangan yang dilakukannya. Bukan hanya bahwa rela dieksekusi mati, namun ia juga yang turut melakukan riset demi misi kedokteran pada masa Jepang. Setelah sekolah kedokteran masa penjajahan Belanda ditutup, Achmad Mochtar turut serta membuka sekolah kedokteran Ikada Daikagu pada zaman Jepang (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Pahlawan bangsa Indonesia bukan hanya mereka yang bertempur di medan perang, melainkan mereka yang melakukan kegiatan ilmiah dan mati karena dikriminalkan. Jepang sendiri membantai banyak intelektual Indonesia dalam 3 tahun masa penjajahannya. Salah satu pembantaian dilakukan di Kalimantan Barat. Korban pembantaian dikubur di Makam Juang Mandor. Salah satu dari sekian banyak intelektual yang dibantai adalah dr. Roebini dan dr. Soesilo yang aktif melakukan riset terhadap penyakit malaria.
"Salah satu anggota keluarga dokter malah harus datang ke Kalimantan hanya untuk melihat pembantaian suami dan ayah mereka", kata Sangkot.
Sumber: kompas.com